بسم الله الرحمن الرحيم
“Now the minutes feel like hours
And the hours feel like days
While I'm away
You know right now I can't be home
But I'm coming home soon
(Bruno Mars; Long Distance)
Ada
saat-saat dimana kita dijenuhkan oleh pekerjaan atau kegiatan yang itu-itu
saja. Setiap hari mendengarkan bising suara mesin yang dipaksa bekerja 24 jam.
Atau suara klakson yang menyebalkan—namun aku tau, kau tak akan menghiraukan
itu semua demi kelancaran pekerjaan sendiri. Pekerjaan yang menuntut
kedisiplinan, pekerjaan yang banyak peraturan ini-itu ternyata—sadar atau
tidak—telah menekan diri kita. Ternyata kita mengalami kejenuhan, kawan. Ya, di
saat-sata seperti itu naluri kita akan merindukan, bebunyian sekawanan emprit,
pemandangan hijau seperti disawah-sawah, bunyi gemercik aliran air disungai.
Kita merindukan suasana semacam itu.
Bagaimana
untuk mengatakan tidak, sedangkan memang begitu adanya? Lihat saja bagaimana banyak
masyarakat kota yang hari-harinya disibukkan dengan pekerjaannya akan
berbondong-bondong ke tempat wisata yang berbau “alam”. Entah itu di desa atau
dimana. Para turis mancanegara saja suka sekali berpelancong ke Bali, Lombok,
dan tempat-tempat yang dirasa menyejukkan jiwanya. Maka, “Dan di bumi itu
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.” (Q.S. Adz-Dzâriyât [51]: 20).
Bisa jadi,
ketika itu mereka sedang amat merindukan dirinya sendiri.
Ya, bisa
jadi mereka sedang merindukan dirinya sebagai identitas yang menguasai
tubuhnya. Bukan yang dikuasai tubuhnya atau—bahkan yang paling parah—yang
dikuasai pekerjaannya. Begitulah mayoritas manusia yang hidup di era modern
ini. kita dituntunt ini-itu dengan alasan “kebutuhan hidup” sehingga diri
mereka semakin tenggelam, hilang terlupakan. Maka, jangan heran bilamana grafik
kejahatan moral akan semakin meningkat. Manusia sudah kehilangan dirinya.
Dirinya yang seperti dulu ketika masih bersetatus sebagai bayi. Maka, “Dan
(juga terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu
tidak memperhatikan? (Q.S. Adz-Dzâriyât [51] 21).
***
Disaat-saat
tertentu kita akan sangat membutuhkan kenangan. Kenangan apa pun itu. Untuk
mengingat satu kenangan yang sangat indah, yang terindah dari yang indah-indah!
Entah itu kenangan yang terpahit; apakah hatimu dan ingatanmu akan selalu
menginginkan untuk melupakannya? Namun semakin kau ingin melupakannya, semakin
pula kau mengingatnya. Atau malah kenangan-kenangan yang dibilang akan amat
sayang dilupakan. Bahakan kau akan mengatakan; aku ingin hari-hariku semacam
hariku pada waktu itu. Meminjam liriknya Slank; terlau manis untuk dilupakan.
Di saat diri
kita mempunyai kesempatan untuk sendiri—ketika senja mulai datang, misalnya.
Kamu akan duduk diam, seakan senja menceritakan seuatu padamu. Menceritakan kenangan-kenangan
yang betapa kau masih ingat itu. Entah itu kenangan pahit atau manis, entah itu
kenanganmu yang ketika masih Es-De atau ketika sudah remaja. Kau akan
mendengarkan baik-baik, sedetail-detailnya. Seakan kau merindukan itu semua.
Dan disaat seperti itu kau amat ingin sekali untuk mengulanginya kembali. Ingin
sekali kembali ke masa lalu dan mengulangi cerita yang sama percisnya dengan
ceritamu yang dulu. Kau bahkan tidak akan peduli bahwa keinginan konyomu itu
hanyalah membuang-buang waktu.
Semakin lama
senja bercerita tentang kenangan, semakin kau lebih suka sendiri. Ah, semuanya
menyisakan sunyi. Dan membiarkan senja bercerita tentang kesunyian yang
mendalam. Sedalam-dalamnya! Sedangakn jiwa kita mendengarkan senja seakan jiwa
kita—atau memang benar-benar—telah mengalami kerinduan. Ya, satu kerinduan yang
enatah pada siapa? Seakan ada cinta sejati di masa lalu entah kapan tepatnya
dan sampai kapan perasaan itu ada. Yang jelas kita merindukannya sampai saat
ini. Kita gelisah sekaligus merasa tentram waktu itu. Kita seperti seorang
kekasih yang merindu seperti dalam lirik LDR yang dinyanyikan oleh Raisa.
Ketika aku
berada di saat-saat seperti itu, aku akan bertanya pada diriku; apakah kamu
sedang merindukan sesuatu? Dan membiarkan dirilah yang bercerita, bercerita
tentang apa saja. dengarkanlah itu! Maka, "dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka, 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab, 'Betul
(Engkau adalah Tuhan kami), kami menyaksikan.'" (Q.S. Al-A'râf [7]: 172). Ihdinâ
ash-shirâth al-mustaqîm!
Wallahu
A’lam![]
Rembang-Pasuruan,
selasa 04 November 2014
16:54 ketika
menunggu senja kembali mengisahkan tentang kesunyian.