بسم الله الرحمن الرحيم
“Aku terus...terus melakukan kesalahan disamping Mu. Seakan aku tak
merasakan Mu. Begitu bodohnya. Ingin rasa-rasanya aku meludahi wajahnya. Tapi
ternyata, aku pun tak bisa untuk sekedar meludahi wajahku. Karena aku begitu
lemahnya. Bagaimana aku bisa menghindar dari sesuatu? Bila aku bisa, itu pun
bukan kemampuanku. Tapi ada tangan Mu yang begitu kuat nan indahnya melakukan
itu. Subhana al-ladzi sakhkhara lana hadza wama kunna lahu muqrinin (Q.S.
az-Zukhruf [43]; 13).”
Sering kali kita melakukan kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan.
Amat sering, bahkan. Seakan-akan diri ini amat ingin mengumpat, marah pada diri
kita sendiri. Bahkan, kadang-kadang kita seakan sudah “emoh” untuk
menghindarinya. Atau, malah kita tidak sadar bahwa diri ini melakukan kesalahan
yang sudah sering kali kita lakukan. Entahlah kenapa begitu—yang lebih tepat; apa
“sesuatu” (hikmah) dibalik itu?
Kita adalah manusia. Manusia adalah sebagian dari makhluk-makhluk
kereasi Tuhan terbaik. Ya, kita hanyalah makhluk. Dalam permainan logika,
makhluk berarti bukan Tuhan. Tuhan wajib benar. Berarti makhluk kebalikannya.
Bahasa gamblangnya—meminjam liriknya lagu Manusia—“Dosa dan kesalahan dalam
niscaya”. Kita harus mengakui itu. sebagai awal, gerbang untuk menuju
pengetahuan diri—atau dalam bahasanya haditsnya “‘arafa nafsah”.
Ya, kita harus tahu, melihat dengan sadar diri kita seperti kita berkaca.
Lihatlah!
Kita adalah manusia. Dalam bahasa al-Qur’an kita disebut dengan
istilah—salah satunya—“insân”, yang berasal dari
akar kata nasiya-yansa-nasya-n yang bisa dicari artinya dalam kamus,
yaitu “lupa”. Lafadz insân ini, dalam al-Qur’an
disebutkan sebanyak 65 kali.
Istilah ini, dipakai al-Qur’an untuk menyebut manusia dalam konteks yang dihubungkan
dengan keistimewaan-keistimewaan manusia sebagai khalifah Tuhan (misalanya, Q.S.
ar-Rahmân; 03-04),
kenegatifan-kenegatifan manusia (misalanya, Q.S. al-Qiyâmah; 05),
dan proses penciptaannya (misalanya, Q.S. al-Hijr; 26). Salah satu
contoh Firman Nya yang menghubungkan insân dengan
kesalahan adalah Q.S. Al-Qiyâmah; 05, “Bahkan
manusia itu hendak membuat maksiat terus menerus.” Maka jangan heran bila ada
ungkapan yang telah popular—juga dikampenyekan—oleh para Da’i-Da’iyah, “al-Insânu mahallu al-khatha` wa al-nisyân” (Manusia adalah
tempatnya kesalahan dan lupa), karena memang salah satu fitrah manusia itu
cenderung kepada kenegatifan.
Pernyataan tersebut menjadi bukti bahwa, semua manusia memang tak luput
dan tak akan pernah luput dari kesalahan dan dosa. Bahkan para Nabi pun sebagai
manusia—dengan tidak mengurangi derajat dan kemuliannya—juga pernah melakukan
kesalahan. Nabi Adam as., pernah memakan buah terlarang (khuldi)—ini adalah
kesalahan pertama dalam sejarah manusia. Nabi Yunus as., pernah desersi, lari
meninggalkan kaumnya. Nabi Musa as., pernah membunuh laki-laki keturunan Bani
Israil. Sampai Nabi Muhammad saw.,—hal ini agaknya bertentangan dengan ke-ma’sum-an
beliau—juga pernah bermuka masam kepada kedatangan laki-laki buta yang bernama Ibnu
Ummi Maktum ketika beliau sedang menerima tamu para pembesar Quraisy dan memperbincangkan
sesuatu, sampai-sampai Allah menegurnya dengan Q.S. 'Abasa [80]: 1-42.
Setidaknya fakta sejarah ini—dengan tidak mengurangi ke-ma’sum-an
beliau—menunjukkan bahwa nabi juga manusia biasa, bukan Tuhan Yang tak punya
salah dan celah untuk kesalahan. Bukankah Nabi sendiri pernah bersabda, “Aku
ini manusia biasa seperti kalian juga.” Dan sabda beliau, “Setiap anak
Adam pasti berbuat dosa, dan sebaik-baik pembuat dosa adalah mereka yang bertaubat.”
(HR.Tirmidzi)
Dalam konteks ini—manusia dalam istilah insân—mempunyai
dua sifat (fitrah) yang saling bertentangan seakan ia adalah dua gambar pada
koin emas; berpotensi baik namun cenderung pada keburukan. Ya, kita adalah
manusia. Manusia yang mempunyai sifat (fitrah) yang cenderung kepada
kenegatifan sebagaimana yang sudah diinformasikan dalam al-Qur’an.
***
Kenapa Tuhan menciptakan kesalahan, bila Dia melarangnya? Bahkan Dia tak
segan-segan akan menyiksa pedih pelakunya! Bukankah Dia Maha Kuasa dan Maha
Pencipta yang—pasti—mampu untuk meniadakan kesalahan-kesalahan atau hanya
menciptakan kebenaran saja? Ah, pertanyaan mendasar itu sebenarnya tidaklah pantas untuk ditanyakan
pada kita—sebagai manusia; makhluk Nya. Bahkan pertanyaan-pertanyaan tersebut
terkesan menggugat Tuhan. Tapi tujuan kita bukan untuk menggugat Tuhan atau
apa, namun kita hanya ingin mengorek-ngorek hikmah; ada apa di balik yang ada?
Baiklah, mari kita perbincangkan masalah ini!
Kita adalah manusia, sebagian dari jenis-jenis makhluk Nya. Bila kita
makhluk Nya berarti kita bukan Tuhan. memang begitu, kan? Bila kita bukan Tuhan
dan sedangkan Tuhan itu Maha Benar tak mempunyai kesalahan secuil pun—“Tuhan
kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa” (Q.S. Thâhâ [20]; 52), berarti
kita sebagai makhluk Nya “wajib” mempunyai kesalahan. Ya, “wajib” salah! Sebab
kesalahan-kesalahan itulah ciri-ciri ke-makhlukan kita.
Pernahkah kalian memperhatikan air, kawan? Salah satu sifatnya air
adalah bisa membersihkan kotoran-kotoran dan mensucikan lantai rumah kita.
Namun tahu tidak, bila kita tak akan sadar sebelumnya bahwa air itu bisa
membersihkan lantai rumah kita sebelum kalian lantai kita kotor—dengan
disengaja atau tidak. Ya, kita perlu “kotoran” untuk mengetahui bahwa air mampu
membersihkan kotoran. Coba bayangkan bila di lingkungan kita tak menemukan
kotoran satu pun? Jadinya, kita tak akan tahu selamanya bagaimana sifatnya air.
Ya, seakan-akan air membutuhkan kotoran untuk mengenalkan bahwa dirinya mampu
membersihkan kotoran sebagaimana penjual nasi mengharapkan manusia-manusia
merasakan lapar.
Bukankah Tuhan itu Maha Pengampun dan tak ada yang melebihi ampunan Nya
meski kita tak tahu—dan tak akan pernah tahu benar—seluas apa batasannya? Lalu
bagaimana Dia memperkenalkan diri Nya dengan sifat Nya yang pengampun bila tak
ada dosa-dosa yang mengalir dari badan manusia? Maka jangan heran bilamana Kanjeng
Nabi Muhammad—shallallahu alaihi wa sallam—pernah bersabda, "Kalau
kalian tidak berbuat dosa niscaya Allah SWT akan mengganti kalian dengan kaum
yang lain pembuat dosa, tetapi mereka beristighfar dan Allah SWT mengampuni
mereka." (HR. Muslim). Hanya orang-orang yang menyadari
kesalahan-kesalahannya lah yang mampu mengenal Nya bahwa Dia benar-benar Maha
pengampun, bukan orang-orang yang (merasa) suci. Nabi—shallallahu alaihi wa
sallam—pernah bersabda, “Sesunggunya Allah berfirman, Wahai anak Adam,
apabila engkau memohon dan mengharapkan pertolongan-Ku maka Aku akan
mengampunimu dan Aku tidak menganggap bahawa ia suatu beban. Wahai anak Adam,
sekalipun dosa kamu seperti awan meliputi langit kemudian kamu memohon
ampunan-Ku, niscaya aku akan mengampuninya. Wahai anak Adam, jika kamu
menemuiku dengan kesalahan sebesar bumi, kemudian kamu menemuiku tidak dalam
keadaan syirik kepada-Ku dengan suatu apapun. Niscaya Aku akan datang kepadamu
dengan pengampunan dosa sebesar bumi itu.” (HR. Tirmidzi)
Maka, semakin banyak kita menyadari kesalahan-kesalahan diri, semakin
kita kenal Dia. Semakin sensitif kita pada kesalahan-kesalah diri, semakin kita
merasakan kehadiran Nya. Begitu juga sebaliknya. “Katakanlah, hai
hamba-hamba Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Q.S. Az-Zumar: 53). Ihdinâ ash-shirâth al-mustaqîm!
Wallahu A’lam![]
5:17. Sambil ngopi
dan menghirup keperawanan udara dari jendela rumah sendiri.