“Guru sejatiku adalah
realitas.
Realitas saya adalah
spiritual.”
(Gus Dur)
Dalam hidup kadang kala kita menemui kendala dalam yang amat pelik untuk
kita terima. Namun, disisi lain kita juga mengetahui—mungkin lebih tepatnya
meyakini—bahwa semua ini adanya sudah dari Tuhan sumua-muanya semenjak jaman
“azali” sebagaimana yang pernah diungkapkan para pemikir dan sufi seperti Imam
al-Ghazali. Menurutnya, tidak akan terjadi peristiwa yang ada di alam raya ini
sedikit pun melenceng dari qadha’ dan qadar Gusti Allah sebagaimana;
“Allah mencatat takdir-takdir makhluk sebelum menciptakan langit dan
bumi dengan selisih lima puluh tahun.” (HR. imam Muslim, Ibnu Majah, dll)
Maka tidaklah mungkin apa yang kita lihat melenceng dari pengetahuan dan
kekuasaan Nya, bukan? Oleh karena itu tidaklah mungkin Tuhan menciptakan—atau
mengadakan—sesuatu yang “salah” dalam pandangan Tuhan (hakikat). Namun, kita
terkadang—bahkan sering kali—bingung seakan terjebak dalam lubang yang belum
diketahui kedalamannya. Pikiran melayang-layang mencari makna yang pelik untuk
diketahui dan diterima. Coba bayangkan—misalnya saja—kalian sedang patah hati,
diputus oleh kekasih sendiri. Ah, betapa wah, rasa sakitnya.
Seakan kita melihat mendung setiap hari; kelabu! Sebenarnya kita—yang
memang sudah pernah membaca atau mempelajari tentang “takdir”—sudah paham bahwa
semua-muanya tak akan keluar dari pengetahuan dan kehendaknya Tuhan yang
menjadi dalang dan sutradara alam semesta yang kita lihat sampai saat ini.
Namun, sepertinya kita tak menggubris pengetahuan itu. Kita lebih memilih untuk
mengetahui dan menggugat kenapa semuanya seperti ini. Kita mencari tahu, seakan
hati kita berteriak; Kenapa dan kenapa patah hati terjadi padaku? Salah apa
aku?! Mungkin pikiran kita seakan sudah terkonsep semenjak kita memasuki
arena pendidikan dinegri ini dengan cara pemikiran kritis model libral bila ada
sesuatu yang tak sesuai dengan kebenaran logika ataupun mayoritas. Bila ada
yang aneh akan bertanya “kenapa?” dan “kenapa?” yang membuat otak
kita melayang seakan mengelilingi dunia mencari-cari jawaban semacam browsing
di google untuk memuaskan hasrat kemanusian yang memang ingin mengetahui. Atau
karena kita memang tidak menerima—terlalu sakit hati—dengan apa yang terjadi
pada kita. Atau bisa jadi karena kedua-duanya? Kalian yang tahu bagaimana
kalian.
Ada ungkapan yang menarik dari dawuh Kiai Khofifuddin, wakil pengasuh
bidang pendidikan ponpes Salafiyah Syafi’iyah
Sukorejo-Situbondo, pada waktu pemakaman Kiai A. Fawaid,
pengasuh ponpes, dalam suasana kelabu; manusia dan alam pada saat itu—memang
pada hari jum’at itu yang biasanya cerah namun tiba-tiba mendung dan
gerimis—seakan tidak menerima dengan wafatnya beliau yang mesih dibilang masih
muda dan semangat juangnya membara. Banyak orang-orang yang bertanya-tanya
kenapa beliau wafat semuda itu? Bukankah beliau masih muda? Dan ditanggapi oleh
Kiai Khofifuddin dengan ayat لايسئل عما يفعل وهم يسئلون…. “Dia tak akan ditanya tentang sesuatu yang
Dia perbuat dan (bahkan) merekalah yang akan ditanya.” (Q.S. Al Anbiyaa';
23) Bahwa Tuhan memang
tidaklah pantas untuk ditanya-tanya seakan menggugatnya dengan pertanyaan
kenapa dan kenapa. Sebab apapun yang di-mau (baca; kehendak) Tuhan
adalah benar meskipun memang sulit diterima—bahkan salah—dalam pandangan
mayoritas manusia. Yang benar untuk menanyakan peristiwa semacam itu adalah apa
hikmah dibalik kejadian itu.
Ya, memang hikmah adalah makna. Makna dibalik rentetan peristiwa yang
kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Seakan-akan itu adalah rentetan kata
demi kata dalam rangkaian kaliamat di dalam sebuah buku pelajaran. Ya, kita
seakan di-ajari oleh Tuhan melalui hidip kita; semua yang kita lalui; semua
yang kita lihat. Diajari untuk mengenal apa? Bila penulis boleh mengkira-kira,
yaitu untuk mengenal hidup. Mengenal hidup berarti mengenal diri kita sendiri
(yang di bahasakan dalam naskah buku-buku sufi dengan nafs). Mengenal
diri berarti mengenal Tuhan nya. Ya, kita di ajari tentang “siapa Tuhan kita”
melalui rentetan peristiwa dalam kehidupan kita. Tuhan seakan mengenalkan diri
Nya melalui rentetan-rentan yang ada dilam dan (bahkan) dalam diri kita. Yang
oleh sebagian orang dibahasakan dengan “alam adalah ayat Tuhan” atau
sebagian lagi menmbahasakan dengan “alam adalah tajally (penampakan) Tuhan”.
Semoga saja kita tak sekedar ingin tahu apa makna yang terjadi peda kita
dan kita lihat. Tapi semoga saja rasa ingin tahu kita menjadi tangga kecil
untuk ma’rifaturabbi. Ihdinâ ash-shirâth al-mustaqîm!
Wallahu A’lam![]