"Sulit sekali bagiku untuk sekedar
mengingat Mu meski aku ada di hadapan Mu
Apa karena aku tak merasa di hadapan Mu
sehingga aku tak bisa mengingat Mu?
Oh, Tuan!
Bagaimana aku ini, Tuan?"
Sudah sering kali, kita dalam shalat membaca kalimat إنّى وجّهت وجهي للذي فطر السموات والارض حنفا
مسلما seakan-akan
kita berkata pada Tuhan “Tuhan... sungguh aku telah menghadapkan wajahku
pada Mu!”
Ah, manis sekali! Bukankah
orang yang shalat adalah orang yang berdialog intim dengan Tuhan-nya?
Bila kamu bertanya; apakah ketika
itu Tuhan juga menghadapkan “Wajah” Nya
padaku?
Ya, tentu saja, kawan! Tuhan
begitu sayang dan selali memperhatikan kita—makhluk Nya. Bukankah Tuhan akan menghadapkan “Wajah”
Nya pada hambanya selama ia tidak menoleh dalam shalatnya (HR. Tirmidzi &
Hakim)? Bahkan semenjak seorang hamba itu berdiri untuk melaksanakan shalat
Tuhan sudah menyambutnya dengan “Wajah” Nya!
Wah, romantis sekali! Seakan-akan kita—memang!—bersama
kekasih! Berdua-duaan, duduk manis di taman. Berhadap-hadapan. Saling
memandang; ia memandang aku dan aku memandangnya.
Romantis, bukan?
Begitu pula dengan shalat!
Seharusnya begitu, kawan!
Namun apakah kita—terutama saya sendiri—telah menghadapkan wajah (hati) kita pada Nya? Apakah pikiran kita
sibuk memikirkan Nya? Atau waktu itu (shalat) kita sedang sibuk memikirkan
sandal; hilang apa gak ya? Apakah ketika itu kita memikirkan makan; nanti
aku akan membeli nasi batagor! Atau malah kita sedang sibuk memikirkan
pacar kita; ah, kau cantik sekali, sayang!
Bilamana bibir kita
bergerak-gerak mengucapkan إنّى وجّهت وجهي للذي
فطر السموات والارض حنفا مسلما waktu itu sedangkan kita (pikiran dan hati)
terbayang sandal—mungkin karena baru beli?—atau sibuk memikirkan lainnya
sedangkan kita ada di hadapannya—saling berhadap-hadapan, bahkan! Maka
kita—meminjam bahasanya Imam al-Ghazali—termasuk orang yang membuka munajat
dengan dengan bohong dan mengada-ada (membual saja)!
Mungkin anak remaja—anak baru gede—menyebut kita dengan “lebay”! Ya,
kita—terutama saya—termasuk orang-orang lebay, kawan!
Coba saja bayangkan; ketika
kamu duduk berdua dengan kekasihmu yang melihatmu dengan pandangan cinta di
taman bunga yang romantis. Lalu mulutmu berkata “Lihatlah, aku sedang melihat
wajahmu, sayang!” padahal pada waktu itu kamu jelas-jelas sedang melihat ke
arah lain. Atau malah melihat ponsel, sibuk sms-an dengan kekasih lain? Bagaimana
dengan perasaan kekasih yang ada di hadapanmu ketika itu?
Marah!
...Putus!
......Kurang ajar!
.........Lebay!
............Keparat!
Bagaimana dengan Tuhan Yang
Maha Tahu dengan makhluk melebihi pengetahuan mekhluknya sendiri?
Ah, bohongnya kita!
...ah, lebay-nya kita!
......ah, kurang ajarnya
kita!
Dan hal itu bukan terjadi
sekali atau sesekali saja bagi kita. Bahkan, boleh jadi setiap kita shalat
seperti itu? Tapi—lihatlah Dia!—Dia masih tetap memberi kita nafas dan makan
setiap hari. Oh, Dia memang Maha Pengasih dan Maha Pengampun, kawan!
Ternyata kita tak lebih dari
seorang lebay kampungan yang merayu perempuan di taman kota! Lebih
kurang ajar, bahkan!
Oh, Tuan!
Aku sering lupa pada Mu
Bahkan pada waktu berdua di
hadapan Mu pun aku
melupakan Mu
Bagaimana aku ini, Tuan?
Sulit sekali bagiku untuk
sekedar mengingat Mu
meski aku ada di hadapan Mu
Apa karena aku tak merasa
di hadapan Mu
sehingga aku tak bisa mengingat Mu?
Oh, Tuan!
Bagaimana aku ini, Tuan?
Ternyata aku tak bisa
merasa di hadapan Mu ketika ‘Kau ada di hadapanku
Oh, Tuan!
Bagaimana aku ini, Tuan?
Tuan...
Bolehkah ‘Kau buat aku
merasa di hadapan Mu biar aku bisa mengingat Mu?
Semacam para kekasihmu itu,
Tuan
Yang selalu mengingat Mu
karena Mu
...untuk Mu
...dari Mu
Semoga saja kita semua—terutama saya—mendapatkan hidayah dan taufiq Nya! Ihdinâ ash-shirâth al-mustaqîm! Âmin!
Wallahu A’lam.[]