"Ada
mubtada' maka ada khabar. Khabar ada karena ada mubtada'. Namun mubtada'
membutuhkan khabar untuk melengkapi maknanya."
erempuan adalah makhluk Tuhan
terkuat daya pesonanya. Tapi (anehnya) juga sering dipandang sebelah mata,
sering di remehkan (di permainkan), dan sering di lecehkan pula! Masih begitu
banyak orang-orang yang memandang perempuan dengan mata satu. Entah kenapa
sebabnya? Mungkinkah mereka hanya punya satu mata? Ataukah karena begitu
berpengaruhnya karya-karya tentang keunggulan makhluk berjenis laki-laki atas
perempuan? Sehingga melupakan kehebatan dan kelebihan seorang perempuan? Juga
ketangguhan ibunya dalam ibunya dalam mengandung, melahirkan, dan merawatnya?
Sebuah keterpurukan!
Pernahkah
anda—laki-laki—“naksir” pada
seorang perempuan? Ah, pasti pernah bukan? Pada waktu itu di dalam
perasaan anda, ada rasa dan keinginan untuk menundukkan perempuan yang anda
sukai agar menjadi milik anda. Maka ketika itulah anda sebenarnya telah
dikalahkan oleh seorang perempuan. Buktinya, pikiran anda ketika itu
kacau—terkabuti oleh bayang-bayang perempuan tersebut. Pikiran anda seolah-olah
kapten kapal yang kebingungan karena laut telah tertutupi oleh kabut! Anda
telah terhipnotis oleh pesona perempuan! Semacam besi yang ada dikawasan gaya
magnetis! Maka akan sangat mudah anda melakukan hal-hal yang (di pandang)
bodoh—hanya demi perempuan tersebut—yang belum pernah anda lakukan sebelumnya.
Misalnya, anda memberi bingkisan pada perempuan itu—seakan tanpa sebab—tanpa
mempedulikan dia merespon atau tidak. Bahkan lebih gilanya lagi, anda
memberinya tanpa ada alamat “pengirim”—mungkin anda berpikir yang penting
mengirimkan “sesuatu” pada sang pujaan. Tidak salah apabila ada yang
berkata “seseuatu kegilaan yang pernah aku lakukan dengan sadar adalah sebab
perempuan!” Penulis amat mengakui
hal itu! Mengakukah anda dengan hal itu?
Tahukah
anda?
Pesona
seorang perempuan mampu mengalahkan pesona seorang laki-laki. Nyata! Buktinya,
model-model iklan—yang bermodel—di media massa mayoritas diperankan oleh kaum
hawa. Pernahkah anda bertanya-tanya atau berpikir, kenapa fenomena itu bisa
terjadi? Pikirkan dan jawablah sendiri!
Bagi
penulis, laki-laki adalah mubtada’ dan perempuan adalah khabarnya.
Laki-laki dan perempuan; mubtada’ dan khabar adalah sejoli yang muthabiq
(serasi/harmoni). Ada mubtada’ pasti ada khabar. Mubtada’
pasti membutuhkan khabar dan khabar tidaklah ada apabila mubtada’
tidak ada. Memang ada istilah “mubtada’ lahu marfu’un sadda musadda
al-khabar, mubtada’ yang memiliki isim marfu’ yang menempati
tempatnya khabar—sebagai penggantinya khabar” yang mana mubtada’
tersebut sudah tidak lagi membutuhkan khabar sebagai pelengkap dan
pasangannya. Namun, anda tahu? Mubtada’ semacam itu bukanlah mubtada’
yang benar-benar mubtada’, alias mubtada’ yang terkena
penyakit;di dahului istifham atau nafi dan berbentuk isim
sifat. Seperti laki-laki yang tidak laki-laki. Tentu saja hal itu tidak
normal meskipun sudah biasa. Apakah anda mau seperti itu? Penulis sih tidak
mau.
Di dalam
kisah Jawa, ada Diah Belitung yang membangun kemegahan candi Prambanan,
ada Dewi Sekartaji yang menyatukan dua kerajaan, ada Ken Dedes
yang melahirkan kisah para raja besar Nusantara. Sudah masyhur cerita-cerita
tersebut—terutama kisah Ken Dedes yang berhasil menarik perhatian Ken
Arok—padahal dia sudah bersuami—sehingga terjadi pembunuhan. Sebenarnya
masih banyak kisah lokal tentang pesona dan kehebatan perempuan yang masih
belum kita ketahui.
Dalam
kisah-kisah Islam juga banyak tokoh-tokoh perempuan yang berpengaruh. Sebut
saja Siti Hawa yang berhasil menemani dan mengusir kegundahan Nabi Adam serta
menciptakan kisah perselisihan sesama manusia pertama kali, antara Qabil dan
Habil. Ada Sarah, yang setianya melukis cinta Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi
Ismail. Ada Siti Khatijah, yang menjadi tameng bagi Nabi Muhammad untuk
menangkis hujatan dan serangan dari kaum Quraisy. Dan banyak sekali yang lainnya—yang
belum kita ketahui. Mungkin juga—di masa kini—ketabahan dan kesabaran para Nyai
yang menjadi tokoh di balik layar bagi para Kiai. Ya! penulis termasuk pengagum
beliau-beliau itu yang mampu bersabar—sesabar-sabarnya—(bahkan) melebihi kaum
laki-laki. Bukankah kesabaran perempuan—yang (terkadang) terefleksi ke
wajahnya—adalah salah satu faktor para laki-laki tertarik untuk
mempersuntingnya?
Maka
seharusnya anda jangan teruskan sikap “menyepelekan” dan “meremehkan”
pada seorang perempuan hanya disebabkan anda berfikir, laki-laki lebih
unggul atas kaum perempuan. Sesuatu yang amat tidak bijak! Ihdinâ ash
shirâth al-mustaqîm! Âmin!
Wallahu A’lam![]