"Heran aku.
Kenapa kesunyian terasa terus membuntuti hatiku?
Terasa lembut mengalir semacam air jernih.
Bahkan akan merindukan kesunyian bila keramaian datang menyerbu telinga."
Pernahkah
anda “diputisin”—atau ditinggal pergi—oleh orang yang anda cintai? Bila anda
masih mengaku manusia, pastinya anda akan menjawab, pernah dong!
Bagaimanakah rasanya? Wah, rasa-rasanya tak cukup untuk digambarkan, kawan! Ya,
kebanyakan orang jaman sekarang—terutama dari kalangan muda-mudi—akan
mengungkapkannya dengan istilah “galau”!
Ada
yang bilang, keadaan seperti itu dengan gambaran; sepi; sunyi.
Ya, perasaan kita waktu itu akan terasa sunyi-senyap, kawan! Coba saja, bila
anda dalam suasana galau, anda lebih senang sendirian menyendiri di pojok,
mendengarkan lagu sendu—kalau tidak mau dikatakan lagu cengeng!—atau menonton
film drama dramatis semacam Titanic. Benar, bukan?
Bilamana
anda mencari di kamus Bahasa Indonesia, kata “galau” akan diartikan dengan sibuk
beramai-ramai; ramai sekali; kacau tidak keruan (pikiran). Arti yang
terahir inilah yang penulis maksud. Dalam bahasa psikologi kegalauan, di
istilahkan dengan “kecemasan” yang ditengarai dengan adanya kegelisahan, kekecewaan,
dll.
Baiklah, mari kita renungi masalah ini!
Bila
kita merenungi—merasakan—sebenarnya setiap hari hati kita (seakan) dibuntuti
kesunyian. Terasa lembut mengalir semacam air jernih. Bahkan akan merindukan
kesunyian bila keramaian datang menyerbu telinga. Hal inilah menyebabkan
kegalauan—atau kecemasan—kita menganga seperti luka yang belum kering disiram
dengan air garam! Bisa jadi, kita diuntit oleh kegalauan setiap hari, setiap
saat seperti bayangan yang selalu mengikuti tubuh kita. Bahkan filosof asal
Negara Jerman, Nietzsche, pernah mengatakan kalau kesunyian adalah rumahnya.
Dan filosof Muslim, Muhammad Iqbal menyimpulkan bahwa kesunyian adalah keadaan
dasar jiwa manusia. Itu berarti kegalauan yang terjadi pada
kita—manusia—sebenarnya bukan cuma kita alami ketika di kita di “putusin”
cinta! Aneh sekali! Ada apa dengan kegalauan, kok berani-beraninya mengikuti
kita setiap saat?
Bayangkan,
ketika kita dalam keadaan sendirian di tinggal pulang oleh teman-teman—biasanya
ketika malam telah larut—bagaimanakah rasanya? Sepi, kawan! Sepi-sunyi
seperti terasing di tengah-tengah luasnya lautan sendiri! Sepi-sunyi seperti
terasing di tengah-tengah gersangnya padang pasir sendirian! Bila kita jujur,
kita akan merasakan cemas di situ. Di saat-saat seperti itulah jiwa kita terasa
ada yang kurang. Seperti ada yang hilang—entah apa itu? Seakan-akan kita
sedang merindukan sesuatu—entah apa itu?
Penulis
jadi curiga; apa memang benar kita sedang mencari sesuatu? Kita sedang
merindukan sesuatu? Bila jawabannya memang benar; kita mencari sesuatu dan
sedang merindukannya, berarti kita sebenarnya telah mencintai—sampai saat
ini—sesuatu dan pernah bersama sesuatu itu seakan-akan kita sedang berpisah
dengan sesuatu saja!
Bingung ya? Ah, penulis sebenarnya juga belum
mengerti betul, kenapa kesimpulannya begitu? Memang benar-benar membingungkan,
kawan!
Mari
kita liahat apa kata ahli psikoanalisis (salah satu teori psikologi
kepribadian yang dikenalkan Sigmound
Froud) dan filosof keturunan Yahudi, Erich Fromm pernah menulis dalam “The
Art of Love” bahwa, “Pengalaman keterpisahan; itulah sesungguhnya yang
menjadi
sumber dari segala kegelisahan.” Apabila, apa yang dikatakan fiosof
keturunan Yahudi itu benar, maka kegelisahan—atau kita lebih sering menyebutnya
galau—disebabkan oleh rasa keterpisahan yang telah kita sadari.
Jauh
sebelum Fromm mengungkapkan konsepnya tentang perpisahan, seorang penyair sufi,
Jalaluddin Rumi pernah mengungkapkan tentang konsep perpisahan dalam syairnya:
“Dengarkan bagaimana alang-alang membawakan
sebuah dongeng mengeluhkan tentang perpisahan
Mengatakan. ‘sejak aku dipisahkan dari rumpun
alang-alang ratapanku membuat laki-laki dan perempuan merintih.’”
Ungkapan
itu sama dengan apa yang pernah juga di syairkan oleh Bapak dokter, filosof,
dan psikolog, Ibnu Sinna:
“Ia menangis mengingat janji-janji di alamnya
yang luhur
Mata mencucurkan air mata, deras tiada
henti.”
Maka,
benar saja para Sufi menyebut dunia ini sebagai penjara yang penuh dengan
kekotoran. Benar saja bila hati manusia menjadi tentram bila menyebut—atau
mengingat nama Allah (QS: ar-Ra’d. 28). Benar saja bila para Ulama’ mengatakan
bahwa, paling lezatnya sesuatu itu melihat Allah
(el-Ghazel). Benar saja bila Kanjeng Nabi kita enggan mau turun lagi ke dunia
ini ketika telah sampai di hadapan Gusti Allah dalam perjalnan Mi’raj-nya.
Benar saja hati manusia—bila mau jujur—selalu di naungi kegalauan yang
sebenarnya itu adalah gejala rindu—karena keterpisahan—akan Sesuatu Yang Masih
Maha Misteri!
Oleh
karena itu, dengarkanlah kegalauan dalam sunyi ketika berbicara padamu. Biarkan
dia melukis rindu yang ada. Sebab manusia yang belum bisa merasakan kesunyian,
belumlah sadar akan keterpisahannya sendiri. Dan biarkan ia menyenandungkan
lagu syahdu;
“Ada, tiada rasa dalam jiwa
Rindu akan memanggilmu
Karena setiap jiwa telah bersama
Setia hanyalah kepada Mu
…….”
(Opik: Ketika Cinta Memanggil)
Ihdinâ ash shirâth al-mustaqîm! Âmin!
Wallahu A’lam![]