“Oh, Tuan!
Biarkan Kau tulis aku
laksana lafad ‘yakûnu’
yang dimasuki ‘âmil ‘lam’ jâzem
....lam yakûn!
Sukun!
Diam!”
iam. Pernahkah kalian diam sejenak untuk sekedar
memberikan kesempatan bernafas pada pikiranmu? Sudah mafhum tingkah laku
manusia bilamana sudah sadar bahwa dirinya merasa mendapatkan beban
permasalahan didadanya yang sulit diterimanya sehingga—bila penulis tak
berlebihan—sulit bernafas. Contoh gampangnya saja—bila kamu masih disebut anak
muda—ketika patah hati; kekasihmu memintamu sudahan, selingkuh, atau
dinikahkan pada orang lain. Atau—bila kamu sudah tak bisa dibilang
muda—ketika kamu difitnah. Ah, betapa sakitnya perasaan kita. Sekujur tubuh
rasa-rasanya lemas semua. Bila penulis tidak berlebihan, ketika itu juga
rasa-rasanya dunia mendung; mungkin mau runtuh detik-detik itu juga!
Waktu-waktu itulah—ketika dihinggapi masalah yang sulit kita terima—kita maunya
diam ditengah kesendirian. Hanya itulah, kawan!
Ya,
terkadang kita—sebagai manusia yang normal—memerlukan diam seperti pemuda
kasmaran yang sedang rindu pada kekasihnya. Lho, kok begitu? Ya,
begitu kok! Sebab manusia—sebagai individu—terkadang memerlukan waktu
untuk loading seperti halnya mengakses jaringan internet dari computer
anda untuk menerima data. Bisa jadi—dalam proses diam itulah—manusia akan
menerjemahkan, memaknai, dan menulisnya benar-benar secapat mungkin di dalam
hati apa-apa yang terjadi semacam para santri memaknai kitab kuning. Ya, kita
manusia biasa yang—sebagai pemula—membutuhkan proses untuk memaknai hidup yang
terkesan rumit ini. Entahlah, apakah memang benar rumit adanya atau hanya
kita saja yang belum memahami betul tentang hidup ini? Semacam santri
pemula yang perlu memaknai kitabnya di surau atau mencarinya dikamus seadanya.
Satu per satu sampai lengkap satu kalâm pembahasan!
Ketika
diam sendiri apakah yang kalian rasakan? Bisa jadi, pada awalnya adalah
gelisah. Gelisah tidak melihat siapa pun disitu. Kita merasa terasing, kawan!
Sampai kamu akan melihat runtutan
peristiwa itu. Melihat orang-orang yang terlibat; termassuk dirimu sendiri! Ya,
kamu melihat dirimu disana, kawan. Cobalah lebih dekat…dan lebih dekat dengan
dirimu. Terkadang kita perlu lebih akrab dengan diri kita untuk memahami dan
tahu siapa kita. Kenalanlah! Kamu akan melakukan adegan dialog dengan dirimu.
Minimal, kamu akan mampu mengendalikan diri dari pengaruh pengaruh atau
gangguan-gangguan dari luar dirinya ketika diam sehingga mendapatkan keadaan
yang damai.
Dr.
Haidar baqir dalam bukunya—mengutip pendapatnya Mihaly Csikszentmihalyi,
psikolog yang memplopori psikologi positif—memberi nama keadaan yang di
dalamnya orang merasakan kebahagiaan sebagai “flow”. Flow adalah
suatu keadaan pikiran yang di dalamnya kesadaran manusia berada dalam keadaan
teratur dan selaras. Dan keadaan seperti ini biasa dicapai lewat pengendalian
diri dan pengendalian hidup (h. 59).
Maka
janganlah heran bila banyak tokoh, psikolog, dan ilmuwan menyebut bahwa
berbagai cara meditasi Timur, termasuk yoga, dan berbagai praktik dalam
Buddhisme dan Taoisme, tak terkecuali juga tasawuf, telah dipakai—dan terbukti
memiliki keberhasilan—untuk mencapai keadaan ketika pelakunya mampu
mengendalikan diri dari pengaruh pengaruh atau gangguan-gangguan dari luar
dirinya.
Namun
dalam shalat—atau sembahyang dalam bahasa masyarakat kampung—terdapat
satu rukun
yang namanya “
thuma’nînah”. Bila dilihat dari asal katanya,
thuma’nînah
ini berasal dari asal kata yang sama dengan “
al-nafs al-muthma’innah”.
Ada apa dengan keduanya? Apakah ada hubungan sepesial seperti kamu dengan
pacarmu? Mari kita lihat ayat al-Qur’an:
“Wahai jiwa yang tenang
(muthma’innah). Pulanglah kamu kepada Rabbmu dalam keadaan kamu rela dan Tuhan
rela kepadamu. Maka masuklah kamu ke golongan hamba-hamba-Ku. Dan, masuklah
kamu ke surga-Ku.” (QS. Al-Fajr [89]: 27–30)
Sayyid
Quthb—semoga Tuhan memberi manfaat dengan barakah ilmunya kepada
kita—mengomentari ayat tersebut dalam Kitab Tafsirnya, “Ayat-ayat tersebut
mencurahkan nuansa keamanan, keridhaan, kepuasan, dan ketenangan. Irama
musikalnya yang landai dan teduh sekitar pemandangan itu mengesankan kasih
sayang, kedekatan dan ketenangan.” (Tafsîr fî Zhilâl al-Qur'an) Hal itu
menandakan bahwa ketika diam—atau thuma’nînah—kalian disana seakan-akan
memang kita diajari untuk merasakan rasa aman, rela (menerima apa yang telah
terjadi), sehingga timbullah rasa puas dan tenang. Ya, ketika diam—sudah
penulis katakan—sedang kita mencoba memaknai satu per satu apa yang telah
terjadi dan sedang terjadi. Setelah makna itu sampai pada kalâm terahir yang melengkapi
pemahaman kita barulah kita mengerti sehingga suaramu terdengar; ternyata
hidup ini tak rumit! Aku adalah milik Nya. Tentunya Dia pasti—wajib secara
akal—mengetahui diriku dari awal sampai ahirku, bukankah Dia memang Maha Tahu
seperti yang dikatakan guru-guru ku? Dan tentu saja, Dia berhak melakukan apa
saja kepadaku. Apa pun itu!
Ketika
sudah begitu timbullah rasa menerima dengan sesuatu yang amat sulit ditelan
perasaan kita dan mencoba membiarkan diri kita luruh. Luruh—bila penulis
meminjam bahasanya Tere Liye—seperti sehelai daun. Daun jatuh yang tak pernah
membenci angin meski terenggut dari tangkai pohonnya. Bukankah awan di
lingkunganmu juga begitu; luruh menjadi rintik hujan, jatuh ke sungai,
mengalir ke laut, terus menguap ke langit dan menjadi awan lagi? Bukankah
setitik hujan tak pernah bertanya, kenapa mereka harus meninggalkan tata langit
saat membasuh bukit? (Laras Hati) Sehingga secara otomatis akan membuat kamu
kembali ringan.
Bukankah
Islam itu memang tunduk patuh; luruh menyerah pada Nya?
Ayat
tersebut (QS. Al-Fajr [89]: 27–30)—masih menurut Sayyid Quthb—juga
mengisyaratkan kepada kita tentang puncak perjalanan jiwa kita sebagai manusia
kembali kepada asalnya. “Kembaliah kepada sumber asalmu setelah kamu
terasing dari bumi dan terlepas dari buaian. Kembalilah kepada Tuhanmu, karena
antara kamu dan Dia terdapat hubungan, saling mengenal dan jalinan….dengan
keteduhan yang melimpah, yang memenuhi seluruh angkasanya dengan kelemah
lembutan.” (Tafsîr fî Zhilâl al-Qur'an)
Ya,
kembali kepada Nya. Belajar mati sebelum mati.
Membunuh diri (hawa nafsu/ego) sendiri. Mematikan hasrat yang selalu
menggebu-gebu. Belajar tidur lelap dalam jaga. Mengembalikan segala urusan yang
datang dari Nya kepada Nya; Tawakkal. Sebab…Innâ lil-Lâh wa innâ
ilaihi râji‘ûn (sesungguhnya, kita hanyalah milik Allah dan kepada Allah
jualah kita kembali).
Bukankah
Islam itu memang tunduk patuh; luruh menyerah pada Nya?
Ya,
Semoga saja kita—terutama penulis—mampu diam memaknai apa yang terjadi semacam
memaknai kitab disurau sehingga mampu thuma’nîna; menjadi jiwa muthma’innah;
tidur dalam jaga; mati sebelum mati. Ihdinâ ash shirâth al-mustaqîm! Âmin!
Wallahu A’lam![]