Dalam
setahun ada dua belas bulan. Dalam sebulan ada empat minggu lebih. Dalam
seminggu ada tujuh hari. Dalam sehari dibulatkan menjadi dua puluh empat jam.
Dan dalam sehari ada pagi, siang, sore, dan malam. Begitu semuanya. Seakan
setiap hari kita mengalami waktu yang itu-itu saja. Pernahkah kamu merasa heran
dan bertanya-tanya ketika pagi hari duduk-duduk santai diteras sambil menikmati
kopi dan udara segar; Bukankah ini adalah pagi yang sama dengan hari
sebelumnya; ada mentari pagi yang menyinarkan sinarnya yang terlihat
kekuning-kuningan dan disambut oleh nynyian burung pipit dan kepakan semangat
sayap kupu-kupu? 5-6 jam lagi pasti siang. 9-10 jam lagi pasti sore. 12 jam
lagi pasti senja datang dan datanglah malam. Atau—kalau boleh lebih ekstrim sedikit—ketika
kita berpikir; Saya saat ini adalah seorang pemuda. Sebentar lagi mencari
kerja yang mapan. Menikah. Punya anak. Punya cucu. Tinggallah saya seorang
kakek-kakek yang tinggal menunggu ajalnya. Dan begitu seturusnya. Kita
tak bisa menghindari itu semua. Seakan-akan kita memang berputar-putar dalam
waktu yang sama. Begitu saja adanya. Seakan tak ada yang spsial. Namun kita
terlanjur dibedakan oleh aktivitas-aktivitas yang membuat kita sibuk seakan
terbawa oleh ombak yang menderu-deru, tenggelam dan kehilangan makna adanya diri
kita.
Ah, hidup ini memang terasa aneh, bukan?
Ya,
begitulah kehidupan. Tak akan mampu kita bisa keluar dari dinding ruang
dan waktu. Namun, meskipun begitu, adanya waktu pun terbukti “terasa” relatif meski dalam kehidupan manusia disekat menjadi
“per-jam” untuk mempermudahkan mengukur aktivitas kita. Bahkan secara teori
fisika pun bisa dibuktikan dengan deretan angka-angka yang telah dirumuskan
oleh seorang ilmuan keturunan Yahudi, Albert Einstein yang terkenal dengan
teori relativitas waktu yang menggemparkan ilmuwan pada masanya. Contoh
sederhananya saja bila kamu pergi ketaman—atau kemanalah—bersama sang kekasih. Hem...tentu
saja perasaanmu seakan waktu berjalan tak secepat biasanya. Atau sebaliknya,
ketika kamu dalam keadaan patah hati. Ah, hari-hari itu terasa lambat. Bahkan
sampai lambatnya seakan kamu menghitung per-detik seakan lama tak seprti biasanya.
Ah, hidup ini memang terasa aneh!
Kehidupan.
Apa sih kehidup ini? Ada yang mengatakan bahwa kehidupan hanyalah
permainan dan senda gurau belaka. Ya, itu adalah penggalan lirik dari single
yang dinyanyikan grup band Dewa. Ada yang mengatakan bahwa hidup ini adalah
proses pendidikan semacam sekolah yang tak mengenal kata ijazah yang perlu
dilegalisir oleh suatu lembaga pendidikan. Ada yang menarik dan mengejutkan
tentang sms salah satu sahabat penulis ketika ditanya tentang hidup ini apa, ia
menulis “Hidup ini ruwet, bro!” Entahlah apa yang sebenarnya ada dibenak
sahabat penulis tersebut. Yang jelas sms tadi menyolek penulis bahwa hidup ini
memang rumit bila di pertanyakan. Memang ini adalah pertanyaan dasar yang
jarang sekali manusia berpikir keras—meski pun penulis yakin setiap orang
pernah mempertanyakan dalam hidupnya tapi tak terlalu ambil pusing dengan
jawabannya. Sebab mereka berpikir; toh saya masih
tetap hidup tak menemukan jawabannya.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata hidup ini terdapat banyak arti,
diantaranya hidup adalah; masih terus ada, bergerak, dan bekerja sebagaimana
mestinya. Berarti “kehidupan”
adalah cara (keadaan, hal) hidup. Secara istilah, masih sulit sekali
mendefinisikan “kehidupan” secara jelas. Sebab kehidupan adalah sebuah proses
bukan sebuah substansi murni. Maka jangan heran bila ada yang mengatakan
kehidupan ini dengan satu kata; perjalanan. Dimana perjalanan satu
dengan perjalanan lainnya (terkadang) berbeda meskipun tujuannya sama.
Secara
biologis—mengingat-ingat pelajaran IPA dizaman Es-De—materi yang ada (mawjȗd)
di dunia ini di kategorikan menjadi dua; benda hidup dan benda mati. Benda
hidup ini mempunyai ciri husus, diantaranya bisa bergerak (sendiri), tumbuh,
dan berkembang biak. Ditinjau dari aspek
sosiologi, berbicara tentang hidup ini akan berkaitan erat dengan semua
aktifitas manusia untuk saling berinteraksi yang nampak dalam kehidupan
sehari-hari. Berarti, hidup adalah semua aktifitas yang dilakukan manusia untuk
saling berintrraksi dengan lainnya dalam kehidupan sehari-hari—apa pun itu. Maka
bisa diartikan, tak ada interaksi atau mengasingkan diri berarti mati.
Sebenarnaya
dalam dunia ini, manusia sudah dipastikan selalu bertanya-tanya tentang
kehidupannya dalam benaknya masing-masing, semenjak berabad-abad yang lalu pun
begitu. Sudah menjadi naluri manusia bila keadaannya
merasa terancam atau merasa tak sesuai dengan yang ada dibenaknya, mereka akan
berfikir “kenapa?” dan “kenapa?” Sehingga mereka pun akan
mempertanyakan dan mencari apa sih kehidupan ini sebenarnya? Begitu pula
dalam dunia filsafat, pertanyaan inilah salah satunya yang di cari-cari oleh
para filosof. Dan karena faktor ini
pula, muncul salah satu aliran filsafat eksistensialisme.
Aliran ini dilatarbelakangi oleh beberapa golongan filusuf yang menyadari bahwa
aktifitas teknologi yang menenggelamkan manusia dan membuat mereka kehilangan
hakekat hidupnya sendiri sebagai manusia atau mahluk yang bereksistensi dengan
alam dan lingkungan sekitar yang dalam Islam dibahasakan dengan “rahmatan li
al-‘âlamîn”.
Entahlah,
masih belum ada definisi dan konsep yang global yang dijelaskan para Tokoh dan
golongan tertentu sampai saat ini. Definisi yang ada hanyalah
deskripsi-deskripsi tentang hidupnya dan apa yang terlihat oleh mata. Dan tentu
saja hal itu amatlah kurang mencangkup untuk mendefinisikan apa itu kehidupan.
Tapi yang jelas kehidupan kita, semua apa yang kita alami, kita rasakan, kita
lihat dalam kehidupan kita sehari-hari adalah kenyataan yang menggambarkan kita
sebenarnya.
Sehingga apa pun yang ada dalam kehidupan kita adalah makna-makna yang
tercecer-cecer seperti potongan-potongan puzzle yang perlu kita susun kembali.
Kita tak tahu apa yang terjadi di hari esok meski esok hari sudah ada yang
mengatur sedemikian rupa senyata dan serupa—tak ada yang terlewatkan sedikit
pun—seperti apa yang kita lihat dengan kedua mata kita esok hari. Oleh karena
itu penulis akan mengorek-ngorek “kehidupan” dalam catatan ini dengan pertanyaan-pertanyaan
yang bisa jadi kamu juga pernah mempertanyakannya. Ihdinâ al-shirâth al-mustaqîm. Âmin!
Wallahu A’lam bi al-shawâb![]
Bonot Lor – Pasuruan, 06 Mei 2014