Sudah kamu ketahui bahwa, takbiratul ihram
itu mengucapkan “Allahu akbar”. Tapi bukan itu maksud penulis di sini. Terus
apa dong?!
Baiklah mari kita berbincang masalah ini!
Sudah kita ketahui, artinya “Allahu akbar”
adalah Allah Maha besar; tidak ada yang mengalahi kebesarannya. Juga tak
ada yang tahu—ukuran manusia normal—sampaimana kebesaran Nya itu? Sehingga
manusia membahasakan dengan “tak ada batas bagi kebesaran Nya”. Bahkan
kebesaran Tuhan itu melebihi kata atau bahasa “Maha besar” itu sendiri.
Ketika kita melakukan takbir—diakui atu
tidak—bibir kita telah mengagungkan Nya. Seagung-agungnya! Dan begiti juga
dengan hati kita, sudah seharusnya ikut mengagungkan Nya—minimal—hanya huruf
awal takbir itu diucapkan! Ya, belajar mengagungkan Nya dengan dan dari
hati!
Bilamana kita sedikit berfikir, merenungkan apa
itu takbir, maka sudah seharusnya kita mengagungkan Dia. Mengagungkan
seagung-agungnya! Mengagungkan dengan cara apa saja hatimu mengagungkan Nya.
Ya begitulah, salah satu caranya bisa bertakbir dari hati; sepenuh hati. Bukankah
kita terkadang perlu merenung terlebih dahulu untuk melaksanakan sesuatu dengan
sepenuh hati?
Mengagungkan Dia sama artinya merendahkan
diri di depan Nya; tawadhu’. Menunduk merasakan diri yang hina di
hadapan Sang Maha Raja yang Agung. Bukankah kita—manusia—di ciptakan dari air
yang hina (QS: As-Sajdah [32]: 08)?
Lho, berarti
kita harus mengetahui “siapa diri” kita dong; siapa aku?
Tahu pada diri kita atau tidak—sebab penulis
akui bahwa mengetahui diri sendiri itu adalah hal yang amat sulit dan itulah
ilmu tertinggi bagi manusia (sayyidina Ali r.a.)—yang jelas ketika tubuh dan
hati kita mengagungkan Nya dan kita (seakan) ada dihadapan Nya, ketika itu
juga—otomatis—kita telah merendahkan diri kita yang seakan bersimpuh tunduk di
hadapan Nya.
Tidak percaya? Silakan kamu mencobanya sendiri. Rasakanlah
dirimu sendiri ketika bibir-bibir hatimu sengaja mengagungkan Nya.
Seagung-agungnya. Dengan pengagungan
yang tak pernah kamu berikan pada
siapa pun. Maka kamu akan melihat dirimu
dihadapan Nya; bersimpuh malu—sebab berlumuran dosa—di hadapan Maha Raja.
Lihatlah!
Renungkanlah!
Rasakanlah!
Semoga kita—minimal—seperti gambaran itu. Amin!
Maka tidaklah heran ada yang menyimbolkan
posisi kita di waktu takbiratul ihram (berdiri) dengan huruf alif pada
lafadz Jalalah yang diartikan sebagai sirr Allah yang di titipkan pada insân al-kâmil dengan
gambaran seorang Avatar Tuhan, Kanjeng Nabi Muhammad saw.
Entahlah! Apa kita—terutama penulis—apa kita
bisa sembahyang (shalat)—minimal takbiratul ihram saja—dengan sebenar-benarnya?
Yang jelas sudah semestinya kita bisa sembahyang dengan sebenar-benarnya.
Bukankah kita budak (‘abd) Nya? Bukankah kita selalu di sayangi setiap
hembusan nafas kita?
Rasakanlah! Renungkanlah!
Semoga kitadi beri anugrah shalat dengan
sebenar-benarnya. Ihdinâ ash-shirâth al-mustaqîm. Âmin!
Wallahu A’lam.[]