بسم الله الرحمن الرحيم
“Dengarkanlah permintaan hati yang teraniaya sunyi”
(Letto)
Berbicara tentang rindu. Rindu, katanya
banyak orang adalah luka yang ternikmat yang pernah ada dalam dunia manusia.
Apakah rindu juga dialami oleh makhlu lainnya? Entahlah, sebab aku manusia.
Kata rindu, dalam kamus bahasa Indonesia dimaknai; sangat ingin dan berharap
benar terhadap sesuatu; memiliki keinginan yang kuat untuk bertemu.
Tentu kalian pernah mengalami rindu bukan?
Rindu, kangen atau kata sejenisnya, seperti apa yang dicurahkan dalam lirik
lagu Dewa 19 yang booming tahun 90-an;
“Kau tanyakan padaku Kapan aku akan kembali lagi
Katamu kau tak kuasa Melawan gejolak didalam dada
Yang membara menahan rasa Pertemuan kita nanti
Saat bersama dirimu”
Lagu itu sama juga dengan LDR-nya mbak Raisa;
“Ku teringat dalam lamunan
Rasa sentuhan jemari tanganmu
Ku teringat walau telah pudar
Suara tawamu, sungguh ku rindu”
Coba dengarkan saja lagu-lagu itu—atau
semacamnya—dan rasakan tatkala kamu sendiri di malam hari. Seakan kamu sedang
merindukan sesuatu. Bahkan, tiba-tiba saja kamu merasakan telah merindukan
sesuatu saat itu! Entah tahu apa itu. yang jelas perasaan itu semacam perasaan
rindu kepada seorang kekasih; kehilangan yang menyisakan sunyi.
Memang benar apa kata banyak orang bahwa
rindu itu adalah luka ternikmat. Entahlah, memakai logika apa aku
menggambarkannya; mana ada luka tapi nikmat? Kedua rasa yang saling
bertentangan. Namun nyatanya ada, bukan? Sudah, rasakan saja sendiri dan aku tak
mau mendeskripsikan lagi. Karena rindu bukan untuk dideskripsikan sebab memang
tidak bisa.
Ketika kita rindu, apa yang kita rasakan?
Sunyi. Sepeti tak ada hingar-bingar kehidupan di luar. Kalau pun ada, kita tak
mempedulikannya, kita lebih memilih diam sendiri, duduk sambil ngopi atau
merokok. Atau bahkan hanya duduk-duduk saja dengan merenungkan apa yang
dirindui.
Dikala kita rindu, satu hal yang amat
kita inginkan adalah bertemu dengan yang kita rindukan. Hanya itu saja; bertemu.
Namun, tahu tidak? Disaat kita sudah bersua dengan yang kita rindui apa yang
terjadi? Apakah kerinduan kita akan hilang begitu saja semacam asap yang
lenyap? Ternyata ketika itu perasaan cinta kita pada yang di rindui akan
semakin bertambah dari sebelumnya, kawan. Bila sudah begitu—cintanya semakin
besar—maka kerinduan kita akan semakin berlipat. Dan terus begitu; membesar dan
membesar!
Saya teringat ungkapan sufi besar, Ibnu Arabi
yang sedang mengalami rindu ini;
“Aku tak hadir, kerinduanku memusnahkan jiwaku, lalu aku bertemu
(namun) tidak dapat menyembuhkanku. Maka kerinduan ini ada ketika tak hadir dan
(mau pun) hadir
Pertemuan dengannya menjadikan aku sesuatu yang tak pernah ku
duga, maka obatnya adalah penyakit yang lain; cinta baru” (Tarjumân al-Asywâq)
Dalam syair tersebut, beliau menjelaskan
bahwa, “Dalam ketidak hadirannya, kerinduan akan membinasakannya. Dalam
pertemuan, kerinduan (juga) akan membinasakannya. Jadi ia terus menerus dalam
keadaan tersiksa, sedangkan ia berada dalam kepedihan ketidak hadiran yang
mengharapkan kesembuhan dengan pertemuan. (Namun) bilamana telah bertemu,
bertambahlah cintanya” (Dakhâir al-A'lâq)
***
Pada dasarnya, setiap saat kita telah
merindukan sesuatu. Entah merindukan apa, rasakanlah sendiri; sedang merindukan
apakah aku ini? Bukankah kalian seringkali galau—terkesan—tanpa sebab ketika
sendiri atau ketika sepi? Itu tandanya jiwa kita mengalami rindu. Ya, rindu
yang entah kepada siapa dan untuk siapa; apakah kita pernah jatuh cinta pada
sesuatu itu sebelumnya? Atau—minimal—pernahkah kita bertemu dengan sesuatu itu
sebelumnya?
Diamlah dalam sunyi. Dan diam. Rasakan saja.
Lalu “dengarkanlah permintaan hati yang teraniaya sunyi” (Letto). Sebab manusia
tak akan sadar dengan keterpisahannya sampai ia merasakan sepi, sunyi. Ihdinâ
ash-shirâth al-mustaqîm!
Wallahu A’lam![]
Rembang-Pasuruan, 18 Desember 2014