"…dan
bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang
melempar."
(Q.S. al-Anfâl: 17)
K E T I K A hujan lebat dikampung, iseng-iseng aku
mendengarkan radio dan ketika itu, kebetulan—entah itu pantas disebut kebetulan
atau tidak?—di putarkan lagu “Jangan Bimbang Walau Galau” milik Lyla. Ketika
saya mendengar liriknya “Tuhan tak mau merubah/Mereka yang tak mau berubah”.
Spontan sebagian dariku berpikir nakal sebagai logika lirik itu; bila kita
mau, maka Tuhan mau? Itu, menjadi “seakan-akan” kemauan Tuhan itu menunggu
kemauan kita dan “seakan-akan” Tuhan bisa didikte dengan kemauan kita dong.
Bila begitu sama saja Tuhan bukan yang berdiri sendiri. Bukannya Tuhan itu
tidak didikte—dan tak akan bisa di dikte—oleh siapa pun dan apa pun? Kemauan
Tuhan juga tidak menunggu kemauan kita. Bahkan kemauan Tuhan lebih dulu dari
pada kemauan kita.
Bisa jadi lirik tsb. mengambil dari
terjemahan al-Qur’an yang sering di suarakan oleh banyak Da’i:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ
حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri.” (Q.S. ar-Ra’d:
11)
Dari terjemahan ayat diatas—dan tema di
banyak ceramah Da’i—sepintas “seakan” bertentangan dengan rukun iman ke-6
dan ayat al-Qur’an yang lain. Namun ayat itu sebenarnya tidaklah bertentangan.
Bila terjemahan itu benar, maka sama dengan terjemahan ayat bahwa bumi itu
datar “Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?” (Q.S.
an-Naba’: 06) yang
“seakan” bertentangan dengan "Dia menciptakan langit dan bumi dengan
(tujuan) yang benar. Dia menutupkan malam atas siang menutupkan siang atas
malam..." (Q.S. az-Zumar: 05); ini bukti bahwa bumi itu bulat.
Gampangnya—meminjam penjelasan K.H. Nawawi Sidogiri ketika saya sowan—bahwa ar-Ra’d:
11 itu adalah ayat yang menjelaskan tentang syari’at-nya, bukan sisi hakikat.
Namun saya lebih tertarik dengan tafsiran yang pernah di jelaskan salah satu
ustadz di pondok waktu khutbah jum’at, bahwa “ما” dalam ayat tsb. adalah isim mausul yang biasa diartikan
“sesuatu” atau “apa saja” bukan bermakna “nasib”—secara mufradat. Sedangkan
maksud “ما”—yang
popular diterjemahkan dengan “keadaan/nasib”—adalah “nikmat”.
Maka, maksud ayat tsb. kira-kira begini; “Allah tidak mengambil nikmat yang
telah di limpahkan Nya kepada sesuatu kaum, selama kaum itu tidak merubah
ketaatannya kepada perbuatan maksiat.” Maksud tsb. sesuai dengan maksud surah al-Anfâl: 53 yang artinya “Yang demikian (siksaan)
itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu
nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu
merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
***
Saya jadi ingat dalam al-Qur’an dalam surah al-Insân ayat 30;
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan
kalian tidak akan berkehendak (pada sesuatu) kecuali (ketika) Allah menghendaki
(pada yang kalian kehendaki). Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui (lagi)
Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Insân; 30)
Keterangan ulama’ tafsir dalam menafsiri ayat
itu, bahwa ”Dan kalian tidak berkehandak kepada hal itu kecuali pada waktu
Allah menghendaki sesuatu yang dikehendaki kalian”
Jadi, bila kita berkehendak untuk melakukan sesuatu itu di dahului oleh kemauan
Allah. Bila Allah mau maka itu terealisasikan kepada kehendak kita untuk
melakukan sesuatu; bila Allah tidak mau, maka terealiasasikan dalam bentuntuk
kita tidak berkehendak untuk melakukan sesuatu. Maka mana mungkin bila kita
tidak mau, maka Allah tidak mau. Pernyataan tersebut—saya katakana
lagi—“seakan-akan” menyandarkan kemauan Tuhan kepada kemauan kita.
Suatu waktu pernah “menduga”—maaf, mungkin ini
hanyalah pikiran nakalku—dalam mengartikan ayat diatas, dengan begini:
“Dan tidaklah kalian berkehendak kecuali kepada
kehendaknya Allah. Allah itu Maha Mengetahui (lagi) Maha Bijaksana.”
Lama aku berpikir; apakah arti semacam itu
menyimpang atau tidak (dalam pandangan sebenarnya)? Setelah beberapa lama,
aku menemukan komentar Ibnu Arabi dalam mengomentari ayat tersebut:
“(Dan kalian tidak menghendaki kecuali)
dengan yang dikehendaki Ku (Allah), Sebab Aku berkehendak kepada mereka. Lalu
mereka mengehendaki pada (yang dikehendaki) Ku. Jadi, kehendaknya mereka itu di
dahului dengan kehendak Ku. Bahkan esensi ('ain) kehendak Ku yang nampak/nyata
itu ada pada sesuatu yang nampak pada mereka.”
Bukankah….“Tiada daya dan upaya kecuali
dengan Allah” dan “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang
kamu perbuat itu.” (Q.S. ash-Shâffât: 96)?
Ihdinâ ash
shirâth al-mustaqîm! Âmin!
Wallahu A’lam![]
Rembang-Pasuruan, 04 Februari 2015