“Aneh rasanya menemukan bahwa tak ada apa pun
dalam diri kita yang pantas dicintai oleh seseorang bahkan oleh Tuhan.”
(Herlinatiens)
Ma'af, bila saya masih nakal dengan pikiran
sendiri. Sebab saya masih belum paham betul tentang diriku, tentang alam, dan
tentang Kau. Namun, apakah bila kita (manusia) sudah paham betul tentang
diri, itu bakal menjadi tak mempunya kesalahan dan hal-hal bodoh? Entahlah.
Yang jelas manusia itu memang sifatnya adalah salah dan salah. “Dosa dan
kesalahan adalah niscaya.”
Bukankah Kanjeng Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, “Setiap anak Adam pasti
berbuat dosa, dan sebaik-baik pembuat dosa adalah mereka yang bertaubat.”
(HR. Tirmidzi). Bahkan beliau juga bersabda, "Kalau kalian tidak berbuat
dosa niscaya Allah SWT akan mengganti kalian dengan kaum yang lain pembuat
dosa, tetapi mereka beristighfar dan Allah SWT. mengampuni mereka."
(HR. Muslim).
Suatu ketika, saya merasa seringkali
melakukan hal-hal bodoh. Dan lebih bodohnya lagi saya masih melakukan hal itu
terus menurus. Susah payah saya untuk menghindari hal itu, tapi semakin saya
merasa tak berdaya. Seakan sudah tidak mampu menghindarinya semacam melewati
jalan yang amat licin. Ketika itu rasa-rasanya saya seperti debu yang terlempar
jauh. Jauh ditengah padang pasir dan ditinggal sendiri di dalam rasa keterpisahan.
Dan ketika itu saya sadar bahwa, saya memang tidaklah mampu. Bahkan untuk
sekedar meludahi muka sendiri tak mampu! Lebih jauh lagi, saya berpikir dan
merenung lama-lama saya menemukan diriku seperti dalam kutipan Novel diatas, “Aneh
rasanya menemukan bahwa tak ada apa pun dalam diri kita yang pantas dicintai
oleh seseorang bahkan oleh Tuhan.” (Herlinatiens). Saya bertanya-tanya
duga; apakah ini cara Tuhan menelanjangiku?
Saya teringat kata mutiara dalam al-Hikam
nya Ibnu Atha’illah:
“Termasuk dari tanda-tandanya bersandar
kepada amal adalah berkurangnya harapan (pada Allah) ketika adanya kesalahan”
Bisa jadi sebelumnya saya merasa mengagumi
amal-amal (baik) sendiri dan menuntut sesuatu dari kebaikanku itu. Lalu, ketika
merasa begitu Tuhan menelanjangiku dengan cara melemparku jauh ketengah padang
pasir seperti sebutir pasir yang terlempar entah kemana. Meski lama sudah saya
mendengar dan tahu bahwa “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa
yang kamu perbuat itu.” (Q.S. ash-Shâffât: 96). Namun, tentu saja
Tuhan belum menelanjangiku—atau bila meminjam kata-katanya Karen Armstrong; sedang
mengalami. Memang, ketika jatuh rasa-rasanya diri ingin sekali bangkit.
Namun, setiap kali bangkit akan jatuh. Seakan tak ada pilihan selain jatuh dan
ketika itu Tuhan mengenalkan dirimu
sekaligus diri Nya. Sebab, sebenarnya memang tak ada pilihan (kita). Maka, “Maha
suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi Kami Padahal Kami sebelumnya
tidak mampu menguasainya.” (Q.S. az-Zukhruf; 13) Ihdinâ ash-shirâth
al-mustaqîm!
Wallahu A’lam![]
Rembang-Pasuruan, 05 Februari 2015