“Aku tidak memiliki alasan apa pun menyangkut kepergianku. Yang
kutahu hanyalah aku harus pergi ke mana pun getaran ini menuntutku. Hidupku tak
akan bermakna jika aku tidak melakukannya.”
Para
filosof amat ingin mencari hakikat sesuatu. Para senima mencari-cari sesuatu
yang indah yang bahkan aneh menurut orang lain. Para ilmuwan ingin untuk
mengetahui kebenaran di balik sesuatu. Para pelancong amat merindukan tempat
pulang. Para pecinta menuntut bertemu
kekasihnya. Semua itu adalah hasrat. Hasrat yang sulit sekali kita hilangkan
dalam diri kita sebagai manusia. Perasaan itu muncul entah dari mana, entah
bagaimana menghilangkannya. Yang kita tahu kita amat tertarik untuk memnuhinya.
Itu adalah permulaan dari peristiwa. Semenjak Kanjeng Nabi Adam as. diturunkaan
dari surga “Turunlah kalian!” (Q.S. al-Baqarah: 36) “Turunlah kalian
dari surga!” (Q.S. al-Baqarah: 38). Ketika tepat di bumi—tempat asing bagi
spesies manusia—beliau terpisah bertahun-tahun dari istrinya, siti Hawa, ibu
dari semua manusia dalam mitologi agama samawi, lalu beliau amat merindukannya
dan ingin sekali bersua.
Ya,
semua manusia memiliki hasrat dengan rasa yang sama; hasrat. Tak peduli
apa yang menjadi hasratnya. Tak peduli datang dari mana. Bahkan kita tak peduli
apa itu namanya. Yang kita tahu, kita dituntut untuk memenuhinya. Hal itu sudah
ada semenjak kepala kita muncul dari rahim ibu kita. Bahkan sebelum itu
terjadi. Lihat saja bagaimana tingkah laku sperma dan sel telur dalam rahim ibu;
sperma tak sabar, selalu ingin keluar dari epididimis seakan ia tahu
tugasnya adalah membuahi sel telur yang bahkan ia sendiri belum pernah bertemu
dan sel telur setiap bulan meninggalkan indung telur menuju ke pembuluh fallopian,
menunggu untuk di buahi, berharap sesuatu yang ia rindukan datang meski ia
belum pernah tahu bagaimana dan apa itu sebelumnya.
(Sepertinya)
Tuhan memang sengaja menumbuhkan hasrat dalam diri kita. Entah untuk apa
sebenarnya—apakah kamu tahu untuk apa? Semenjak kita masih berbentuk
sperma dan ovum, sebelum kita mempunya otak yang bisa berpikir ini-itu
kita sudah mempunyai hasrat seperti yang aku katakan tadi. Sampai sekarang kita
masih mempunyai hasrat meski mempunyai otak yang mampu berpikir, bahkan hasrat
kita terlihat semakin kompleks lagi. Aih…!
Apakah
hidup adalah kumpulan hasrat-hasrat alami manusia? Entahlah. Kita sendiri tak
tahu, tak paham betul dari mana hasrat itu muncul. Bahkan sebelum kita tahu apa
itu namanya kita sudah memilikinya. Sepertinya, selama kita ada hasrat itu ada,
menyumbul tak tertahankan, sekali pun tanpa mengharap untuk muncul.
Hasrat,
aku bahkan akan kebingungan mempertanyakan tentangnya.
Kita
pasti memiliki hasrat terindah, terbesar dalam hidup kita, entah kita tidak
tahu betul apa itu. Misalnya saja ketika kita masih sekolah Es-De dan
berhasrat untuk meraih nilai tertinggi dalam kelas. Setelah kita berhasil
meraihnya kita amat bahagianya sekali. Namun, itu masih belum. Kita kembali
berhasrat untuk meraih nilai tertinggi selanjutnya sekan kita belum terpuaskan
ketika memperoleh pertama kali. Dan begitu seterusnya seakan kita benar-benar
tidak akan pernah terpuaskan dengan dugaan hasrat kita. Hal itu nyaris sama
seperti hasrat-hasrat lainnya. Apakah kamu juga merasakan yang sama?
Apakah
diri kita sebenarnya berhasrat untuk mencari sesuatu yang entah apa itu? Bahkan
kita tak tahu bagaimana caranya memenuhinya. Seakan kita terus, terus, dan terus
sampai kita memenuhi hasrat yang entah apa itu. Itulah yang aku maksud dengan
hasrat terbesar dalam hudup. Apakah bila kita telah mati hasrat itu masih ada?
Atau malah bertambah? Entahlah, aku tak tahu. Aku belum mati. Apakah do’a para
muslim setiap hari dalam shalat kita—tunjukkanlah kami jalan yang
“lurus”—adalah untuk pemenuhan hasrat terbesar kita? Entahlah, aku terlalu buta
untuk melihat kenyataannya. Aku disini hanya berceloteh tentang hasratku dan
mencoba melihat. Maka…”harus kutemukan sekali lagi/jalan yang hilang/kan
kutempuh di kegelapan… bolehkah ku menujumu/ di jalan yang hilang/di jalan yang
hilang”. Ihdinâ
ash-shirâth al-mustaqîm!
Wallahu
A’lam![]
Rabu 23:30
Rembang-Pasuruan, 29 April 2015