“Pernahkah kau mengira kalau dia kan sirna
walau kau tak percaya dengan sepenuh jiwa
rasa kehilangan hanya akan ada
jika kau pernah merasa memilikinya”
(Letto; Memiliki Kehilangan)
K E H I L A N G A N, kalian pasti pernah merasakan kehilangan, bukan? Kehilangan adalah hal yang
pasti terjadi dan kita rasakan dalam hidup kita. Menghindari kehilangan sama
saja dengan lari dari kematian. Amat melelahkan dan sia-sia saja; mustahil.
Kehilangan
diartikan sebagai “hal hilangnya sesuatu; kematian”.
Dalam dunia psikologi, kehilangan menjadi nama untuk suatu keadaan individu
yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada kemudian menjadi tidak ada,
baik terjadi sebagian atau keseluruhan.
Mau
tidak mau—kita sebagai manusia normal—pasti merasakan perasaan ini. bahkan
manusia terhebat, termulia, tersempurna, Nabi Muhammad saw. tidak luput dari
perasaan ini. Sesempurna apapun, beliau adalah manusia dan itu menjadi ciri has
manusia. Bukankah dalam al-Qur’an, “Katakanlah, 'Sesungguhnya aku ini hanya
seorang manusia seperti kamu'” (Q.S. al-Kahfi: 110)
Kira-kira
tahun kedelapan setelah kenabian, sang Nabi saw. kehilangan orang yang sering menolongnya
dari gangguan orang Quraisy, paman yang paling beliau sayangi meski non muslim;
Abu Thalib. Tidak lama setelah itu, beliau kehilangan istri satu-satunya, istri
yang paling dicintainya, Siti Khadijah ra. dalam usia 65 tahun. Coba bayangkan,
betapa kehilangannya, beliau. Betapa sedihnya. Itulah kenapa tahun itu dinamakan “amul huzni”
(tahun kesedihan).
“Rasa
kehilangan hanya akan ada/jika kau pernah merasa memilikinya”.
Bila tidak merasa memiliki maka tak aka nada perasaan kehilangan. Mustahil kita
menghindarinya. Ya, sudah aku katakana pertama kali, menghindari kehilangan
sama saja dengan lari dari kematian. Amat melelahkan dan sia-sia saja. Bahkan ada
teori psikologi, menurut Daniel Kahneman bahwa, “secara umum manusia akan
lebih merasa sakit jika kehilangan sesuatu daripada gagal ketika berusaha
memperoleh sesuatu itu”. Mungkin hal ini tidak beda dengan yang di ungkapkan
oleh tokoh Nagato dalam film Naruto, “Sangat sulit menerima kematian
seseorang yang di cintai. Bahkan kita meyakini bahwa mereka tidak akan pernah mati...
Kamu mencoba menemukan arti kematian, tetapi hanya ada kepedihan dan
kebencian.... Kebencian yang tak pernah berahir, sakit yang tak pernah bisa
sembuhkan.”
Entahlah
untuk apa (hikmahnya) Tuhan menjadikan rasa kehilangan di hati manusia? Apakah
Dia ingin kita tidak merasa memiliki apa-apa di dunia ini? Ah, sepertinya hal
itu hampir tidak mungkin bagi manusia. Sebab manusia dititipkan ego
(nafs). Sama saja Tuhan menyuruh hal yang tidak mungkin bagi manusia. Atau Dia
ingin kita tahu betul dan menyadari bahwa, kita tidaklah memiliki apa-apa dan
hanya Dia lah yang memiliki semuanya—semua-muanya, termasuk diri kita? Entahlah,
yang jelas perasaan itu termasuk salah satu bentuk ujian Nya—apa pun itu
namanya. Bila kita mampu melewatinya, tentu kita mendapat “sesuatu” dari
Nya sebagaimana kisah Nabi Muhammad saw. yang diundang oleh Nya ke langit ke-7;
mi’raj, setelah melewati tahun kesedihan. Ihdinâ ash-shirâth
al-mustaqîm!
Wallahu
A’lam![]
Rembang-Pasuruan, 19 April 2015