“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan
dan senda gurau saja…”
(Q.S. Muhammad: 36)
A K U mesti senang
berkumpul—bercanda atau sekedar melihat tingkah lugunya—dengan anak kecil.
Lihatlah mereka; bermain, bercanda, bergurau tanpa berfikir apakah aku besok
makan atau tidak? Tanpa beban, kawan. Seakan mereka sudah begitu
mengertinya apa itu kehidupan sebenarnya. Lihat saja mereka enjoy
terhadap hari-harinya seakan tanpa beban. Bila mereka bertengkar—merebutkan
salah satu mainan—esoknya hilang, akrab bermain bersama kembali seperti tak
terjadi konflik apa-apa. Bukankah kita—sebagai manusia yang (ingin)
paripurna—semestinya seperti itu? mema’afkan kesalahan orang lain seperti yang
dicontohkan Kanjeng Nabi Muhammad—shalawat dan salam semoga atasnya?
Apakah mereka tahu apa itu hidup sebenarnya?
Apakah mereka tahu bagaimana musti menjalani hidup ini?
Ah,
kehidupan mereka amatlah enjoy mengarungi hidup yang terasa rumit bila
dijalani para manusia yang mengaku dewasa semacam para Arif billah yang
menjalani hidup ini tawakkal penuh, gembira ria—apa pun yang terjadi
padanya—seperti jalan-jalannya kita menuju taman kota untuk memenuhi dan
menemui sang kekasih tercinta. Namun tahukah bila sebaliknya—kita kalangan
manusia yang mengaku dewasa—pusing tujuh keliling mengarungi hidup ini semacam
kapten kapal yang mengarung luasnya samudra bertepatan dengan cuaca buruk. Cemas!
Tidaklah
salah memang, bilamana terkadang kita musti melihat anak-anak kecil,
merenunginya, dan mencontoh bagaimana kita musti menjalani hidup ini. Apakah
mereka tahu apa itu hidup sebenarnya? Apakah mereka tahu bagaimana musti
menjalani hidup ini? bukanlah tanpa alasan kenapa penulis membicarakan hal
ini. Sebab, memang masa anak-anak adalah masa gambaran nafs muthmainnah—yang
begitu enjoy menjalani hidup sebab mengembalikan—menyerahkan kembali—semua
urusan kepada Pencipta dan Penyebab semua urusan yang ada didunia materi ini
semenjak urusan itu nampak oleh mata, bahkan sebelum terjadi pun sudah
diserahkan!
Sebaliknya
kita—yang sudah mengaku dewasa—amatlah susah dan gundah gulana mengarungi
kehidupan ini. Maka kita musti melihat diri kita kezaman kanak-kanak. Zaman
dimana kamu menjalani diri sendiri menjadi jiwa yang tenang (nafs
al-muthmainnah) yang amatlah menjalani hidup tawakkal. Lebih-lebih kita
merenungi bagaimana gambaran kita di rahim ibu; masih berupa segumpal daging
yang total diperankan dan diserahkan oleh Tuhan; dari Tuhan, oleh Tuhan,
dan karena Tuhan. Lebih jauh lagi… bila kita merenungkan pertemuan
sperma bertemu dengan ovum. Di mana kita? Ihdinâ ash-shirâth
al-mustaqîm! Âmin!
Wallahu A’lam![]
Bonot Lor – Pasuruan, 21 Oktober 2013